Keesokanharinya, Buaya Tembaga diantar oleh seluruh Ikan-ikan menuju sang Ular. Pada saat sampai ditempat tujuan, Buaya Tembaga mulai waspada. Ia semakin mendekat pada Ular tersebut. ternyata, Ular sudah memperhatikannya dan menjulurkan kepalanya. Dalam sekejap sang Ular pun langsung melilit tubuh Buaya Tembaga dengan sekuat tenaga. CeritaSi Kancil, Kerbau, dan Buaya Alkisah di suatu hari yang cerah, Si Kancil yang ceria tengah asyik berjalan-jalan di pinggir hutan. Di tengah perjalanan, mendadak ia merasa haus. Ia pun melangkahkan kakinya ke sebuah sungai yang berada tak jauh darinya. Sesampainya di sana, Kancil langsung minum. Selaindengan buaya, kisah pernikahan aneh apa lagi yang terjadi di belahan dunia lainnya? Berikut ulasannya: 1. Wanita Menikah dengan Ular Seorang wanita di India jatuh cinta dengan seekor ular. Sesampainyadi Laut Buru, Buaya Tembaga mendapatkan sambutan dari para penghuni lautan. Ia disambut dengan upacara dan doa. Mereka mendoakan agar sang penolong bisa mengusir ular itu. Lalu, Buaya Tembaga itu mulai mendekati ular besar. Ia berkeliling di pinggir laut dan mengintai pohon bintanggor. Ketika si ular sedang lengah, dengan sigap Buaya Tembaga melompat dan menggigitnya. Dongengsi Kancil dan Buaya Sungai - Setelah si kancil berhasil kabur dari bahaya yang mengancamnya pada kisah kancil dan harimau sebelumnya, kinisi kancil berlari Read More Posted on Februari 20, 2015 Juli 22, 2020 BUAYA KISAHMONYET DAN BUAYA Suatu ketika, seekor monyet berdiam di pinggir sungai. Dia sangat kuat dan peloncat yang hebat. Ditengah sungai ada sebuah pulau yang indah yang dipenuhi buah mangga, nangka dan banyak pohon buah-buahan yang lain. Di tengah tengah antara pulau dan pinggir sungai terdapat batu karang. Kamis 03 November 2011. Pada suatu hari, kancil sedang minum di tepi sungai, ketika seekor buaya menggigit kakinya. Beberapa buaya lain juga berenang mendekat. Kancil tahu ia harus segera menemukan akal untuk menyelamatkan diri. "Halo bapak buaya," kata kancil sambil menyembunyikan suaranya yang gemetar. "Kebetulan kita bertemu di sini Sudah siap!" kata semua buaya bersemangat. Kancil pun dengan girang melompati buaya dan pura-pura menghitung buaya-buaya yang sudah berjejer membentuk jembatan itu. Setelah sampai ujung, kancil pun melompat ke tepi sungai. Lalu ia berkata, "Terima kasih para buaya, berkat kalian, aku jadi bisa menyebrangi sungai ini." Kejadianini bermula dari laporan warga Situ Bungur, Pondok Ranji, Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) yang menangkap ular kobra sepanjang 2 meter. Doni lantas dihubungi warga untuk mengevakuasi ular tersebut. Ular itu dalam kondisi mulut yang tertutup lakban. Saat Doni membuka lakban, saat itulah doni dipatuk hewan berbisa tersebut. Keduanyajuga menjadi predator puncak dalam sebuah rantai makanan. Namun yang terjadi di Queensland, Australia, berikut ini sungguh mengherankan dan mengejutkan. Viral Penemuan Ular Piton Raksasa di Kalsel, Panjangnya 8 Meter Lebih. Bayangkan, seekor ular piton mampu menelan bulat-bulat buaya dalam sekali telan tanpa mengalami kesulitan. KodeAlam 2D Mimpi Bingkai Foto Jatuh di Togel + Arti Mimpi, 10 Rahasia Dibalik Mimpi Bingkai Foto Jatuh yang Jarang Diketahui, Takwil Mimpi CeritaKancil dan Buaya - Suatu hari ada seekor kancil sedang duduk bersantai di bawah pohon. Sayangnya Kancil harus menyeberangi sungai untuk mendapatkan makanan. Cerita Si Kancil dan Sang Buaya. Seperti bermain layang-layang bermain ular tangga berlarian ketika sedang hujan hingga. Pada saat itu ada banyak kenangan yang sulit terlupakan. Homepage/ cerita dongeng ular dan buaya Tag: cerita dongeng ular dan buaya Cerita Dongeng Putri Duyung Oleh admin Diposting pada 3 Maret 2022 Cerita Dongeng Putri Duyung - Raja Triton adalah raja lautan yang perkasa, ia mempunyai banyak anak perempuan. Mereka mencintai dunia bawah laut dimana tempat mereka tinggal. Ayampun pergi ke sungai. Sesampainya di sungai, tiba-tiba Buaya muncul dari dalam sungai dan hendak menerkam Ayam. "Beruntung kau datang, Ayam. Sudah seminggu aku tak makan, perutku sangat lapar," ucap Buaya dengan ganas. "Jangan makan aku, saudaraku. Aku hanya ingin mengambil air." rengek Ayam. Mendengar rengekan Ayam, Buaya terdiam. Merekaberamah-tamah dan bersuka-ria dengan Buaya Tembaga sela­ma dua hari. Pada hari yang ketiga, berangkatlah Buaya Tembaga melaksanakan tugasnya. Ia mulai berjalan, berenang ke sana-kemari mengintai musuhnya dan mendekati po­hon mintanggor tempat ular raksasa itu berada. Ketika buaya melewati pohon itu, ia berpapasan dengan sang ular. S1O2NMa. Betsi P. Urlialy, Desa Haruku adalah desa yang tenteram dan damai. Masyarakatnya hidup berdampingan dengan damai. Jika salah satu orang tertimpa musibah, anggota masyarakat yang lain langsung menolongnya. Desa Haruku juga memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah. Hasil hutannya sangat kaya. Begitu pula hasil lautnya. Mata pencarian masyarakat Desa Haruku ialah berkebun dan bertani. Biasanya mereka membuka lahan perkebunan di dalam hutan. Tanaman-tanaman yang mereka tanam berupa umbi-umbian, sayur-mayur, dan buah-buahan. Hasil dari berkebun mereka bawa ke Kota Ambon untuk dijual di sana. Hari itu Dominggus akan pergi ke kebun untuk memanen buah durian. Namun, beberapa hari sebelumnya, ayah dan pamannya sudah pergi untuk memanen durian. Mereka sempat mengajaknya, tetapi melihat istrinya yang sedang sakit, Dominggus mengurungkan niatnya. Pada pagi hari itu, setelah melihat keadaan istrinya mulai pulih, dia memberanikan diri untuk meminta izin kepada istrinya. “Istriku, saya mau pergi memanen durian di kebun. Mungkin setelah tiga hari barulah saya pulang. Jangan lupa minum obatmu,” kata Dominggus mengingatkan istrinya yang sedang sakit. “Baiklah. Berhati-hatilah! Semoga perjalananmu lancar. Saya akan mempersiapkan bekalmu. Tunggulah sebentar! Akan kuuntai ijuk menjadi cincin agar dapat kau hadiahkan kepada Buaya Learissa Kayeli,” kata Marice kepada suaminya. Ada rasa khawatir dan sedih dalam hatinya. Namun, dia harus melepaskan suaminya karena pada musim durian, masyarakat akan mendapat banyak keuntungan dari penjualan durian. Uang yang diperoleh dapat digunakan untuk biaya hidup sehari-hari. “Selamat pagi, Marice, bagaimana keadaanmu? Saya bawakan nasi kuning untuk sarapanmu.” Terdengar suara dari balik pintu. Mendengar suara itu, Dominggus keluar. “Oh, tante Konstanta. Mari, silakan masuk!” sambut Dominggus. Setelah mempersilakan Tante Konstanta masuk, mereka bertiga bercakap-cakap sebentar. Melihat Dominggus yang sedang bersiap-siap meninggalkan rumah, tante Konstanta menawarkan diri untuk menjaga Marice. “Kamu mau meninggalkan istrimu sendirian di rumah? Lebih baik dia tinggal bersama kami sampai kamu kembali. Toh rumah kami tidak terlalu jauh dari rumahmu. Kami khawatir terjadi apa-apa jika istrimu tinggal sendirian,” usul tante Konstanta. Dominggus berkata, “Tidak usah tante. Sepertinya Marice akan baik-baik saja di rumah.” “Janganlah kamu merasa sungkan. Kita ini kan bertetangga, sudah seperti saudara. Jika ada yang membutuhkan pertolongan, kita harus saling membantu. Pergilah bekerja dengan giat agar mendapatkan hasil yang banyak,” ucap tante Konstanta. Mendengar ucapan tante Konstanta, Dominggus merasa tenang meninggalkan istrinya. Setelah mereka makan nasi kuning yang dibawa oleh tante Konstanta, Dominggus berpamitan kepada istrinya dan tante Konstanta. Kebun Dominggus dan warga Desa Haruku berada di tengah hutan. Hutan tersebut berbeda daratan dengan Desa Haruku. Untuk dapat sampai di hutan tersebut, masyarakat Desa Haruku harus menyeberangi sebuah sungai yang bernama Learissa Kayeli. Di Sungai Learissa Kayeli, hidup seekor buaya betina. Oleh penduduk Haruku, buaya tersebut dijuluki Raja Learissa Kayeli. Buaya itu memiliki bentuk tubuh yang tidak sama dengan bentuk buaya pada umumnya. Kulitnya putih halus dan tidak bersisik. Buaya Learissa Kayeli juga tidak memiliki taring yang panjang sehingga kesan garang yang terdapat pada buaya-buaya pada umumnya tidak tergambarkan dari bentuk fisik Buaya Learissa Kayeli. Selain itu, buaya itu sangat akrab dengan masyarakat di Desa Haruku. Buaya itu sering menolong mereka menyeberangi sungai untuk pergi berkebun. Ketika Dominggus sampai di tepi sungai, air sedang pasang. Dia melihat Martinus sepupunya sedang berdiri menunggunya. “Maaf, sudah lamakah menunggu? Tadi saya makan dulu baru ke sini,” ucap Dominggus. “Tidak apa-apa. Saya juga baru sampai. Buaya Learissa Kayeli juga masih di seberang sungai. Nah, itu dia baru menuju kemari,” jawab Martinus sambil menunjuk ke arah sang buaya. “Ini, saya bawakan cincin untuk hadiah kepada sang buaya. Semoga dia menyukainya,” jawab Dominggus sambil menunjukkan sebuah cincin ijuk. Beberapa saat kemudian, sang buaya akhirnya sampai di tepi sungai. “Wahai buaya yang baik hati, sudikah engkau mengantarkan saya dan saudara saya ini menyeberangi sungai? Kami hendak memanen buah durian,” tanya Dominggus kepada Buaya Learissa Kayeli. Dengan raut wajah berseri-seri sang buaya menjawab, “Wahai Saudaraku, naiklah ke punggungku ini. Akan saya antarkan kalian berdua ke seberang sungai.” Mendengar perkataan sang buaya, tanpa ragu keduanya naik ke atas punggung Buaya Learissa Kayeli. Setelah sampai di seberang, Dominggus dan Martinus berterima kasih kepada Buaya Learissa Kayeli. “Terima kasih, wahai buaya yang baik hati. Jasamu ini akan selalu kami kenang. Ini cincin yang dibuatkan istriku untukmu. Semoga kamu menyukainya,” ucap Dominggus, sambil memasangkan cincin tersebut pada jari sang buaya. “Tak usah merasa sungkan, Saudaraku. Semoga hasil panenmu berlimpah ruah. Terima kasih atas pemberianmu ini.” Sambil menjawab perkataan Domiggus, Buaya Learissa Kayeli kembali berenang ke seberang sungai untuk mengantar penduduk lainnya yang hendak menyeberang. Dominggus dan Martinus kemudian melanjutkan perjalanan mereka ke dalam hutan untuk memanen buah durian. Hari masih pagi, tetapi air laut di Tanjung Sial telah berubah warnanya menjadi merah. Air laut yang berubah warnanya itu adalah tanda bahwa sebuah pertempuran sengit baru saja terjadi. Sesosok mayat buaya terapung di atas air dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Dari atas ranting pohon di tepi laut terdengar suara yang menggelegar. Suara yang jika didengar oleh orang atau hewan yang bernyali kecil akan membuat mereka berlari tunggang-langgang karena ketakutan. Suara itu berasal dari seekor ular bertampang sangar. Badannya besar. Taringnya menjulur ke luar mulut. Otot-otot badannya terlihat jelas pada kulitnya. “Siapa lagi yang berani melawanku? Ini wilayahku! Siapa pun yang berani melewatinya akan kubinasakan. Jangankan satu, sepuluh pun akan kutantang. Akulah sang raja ular, penguasa Tanjung Sial!” teriak si ular menantang siapa saja yang mencoba melewati wilayah kekuasaannya. Mendengar teriakan si ular besar, para buaya dan burung-burung lari bersembunyi menyelamatkan diri. “Bagaimana ini, Ketua? Buaya yang berasal dari Pulau Buru sudah dikalahkan oleh si ular besar. Padahal, dialah satu-satunya harapan kita untuk mengalahkan ular besar yang sombong itu,” ucap salah satu buaya kepada ketua buaya. “Ternyata si ular besar benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa. Kita harus mencari cara untuk mengalahkannya agar kehidupan kita menjadi aman dan damai. Adakah yang dapat memberi masukan untuk memecahkan persoalan kita?” jawab sang ketua buaya. Ketua buaya merasa putus asa dengan keadaan yang menimpanya dan sahabat-sahabatnya sesama buaya. Mereka harus segera menyingkirkan si ular besar karena beberapa minggu kemudian musim barat akan segera tiba. Artinya, angin akan berembus kencang sehingga menimbulkan gelombang yang besar. Jika musim barat tiba, para buaya akan kesulitan mencari makanan di tengah laut. Wilayah yang memungkinkan para buaya Pulau Seram memperoleh ikan hanyalah tepi pantai, yang saat ini telah menjadi sarang si ular besar. Setelah terdiam beberapa saat, seekor burung Elang akhirnya bersuara. “Beberapa teman yang terbang melewati Pulau Haruku sering melihat seekor buaya betina yang selalu menolong masyarakat Desa Haruku. Buaya itu biasa dipanggil Raja Learissa Kayeli.” “Bagaimana mungkin seekor buaya dapat hidup berdampingan dengan manusia?” jawab seekor buaya yang ada di situ dengan nada tidak percaya. Burung pun menjawab, “Saya tak tahu mengapa buaya itu bisa hidup di sana. Namun, menurut cerita yang saya ketahui, buaya itu memiliki hati yang baik karena suka menolong masyarakat di sana.” “Tadi kamu mengatakan bahwa buaya itu adalah buaya betina. Apakah kamu dapat menjamin bahwa buaya betina itu tidak akan mati sia-sia di tangan si raja ular?” tanya sang ketua buaya. “Saya tidak dapat menjamin apakah buaya betina itu mampu mengalahkan sang raja ular. Sebaiknya dicoba dahulu, mengingat kesaktiannya mampu tinggal berdampingan dengan manusia,” jawab burung Elang meyakinkan pendapatnya. Mendengar jawaban itu, ketua buaya Pulau Seram akhirnya menyetujui usulan burung elang. “Baiklah Saudara-Saudara sekalian, saya sendiri yang akan pergi ke Haruku menjemput Buaya Raja Learissa Kayeli. Besok pagi saya akan melakukan perjalanan menuju Haruku. Doakan saya agar mampu membujuk Buaya Raja Learissa Kayeli untuk datang ke Pulau Seram dan membantu kita melawan si ular besar.” Mendengar jawaban ketua buaya, seluruh ruangan persembunyian menjadi bergemuruh dengan sorak-sorai seluruh penghuni Pulau Seram. Matahari hampir terbenam ketika mereka sampai di Pulau Seram. Kedatangan Buaya Learissa Kayeli disambut gembira oleh buaya-buaya di Pulau Seram. Ketika sampai, Buaya Learissa Kayeli langsung mengadakan pertemuan dengan buaya-buaya yang ada di Pulau Seram untuk membahas strategi perang melawan ular besar. Setelah beristirahat sejenak, Buaya Learissa Kayeli diantar oleh ketua buaya Pulau Seram dan satu temannya untuk menemui ular besar. Ketika itu air laut sedang pasang. Buaya Learissa Kayeli langsung menegur si ular besar yang sedang tidur di atas pohon. “Hai Ular Besar, turunlah engkau dari peraduanmu. Saya datang untuk menantangmu,” ucap Buaya Learissa Kayeli kepada si ular besar. Dengan wajah merah padam karena kesal tidur siangnya diganggu, si ular menjawab, “Ha, ha, ha. Kau sudah bosan hidup rupanya! Tak tahukah kau siapa yang kau tantang? Saya raja ular di muka bumi ini. Lawan maupun kawan kuhabisi!” “Janganlah kau bertinggi hati, lebih baik kau tinggalkan negeri ini! Tak sadarkah kau telah mengusik ketenteraman di sini?” kata Buaya Learissa Kayeli. “Ha, ha, ha. Para buaya itu hanyalah kumpulan hewan-hewan yang lemah dan bodoh. Tak pantas mereka menghuni daerah ini. Lebih baik saya mati daripada harus meninggalkan negeri ini!” jawab si ular besar. “Mari kita buktikan saja siapa yang akan menang dalam pertempuran hidup dan mati ini!” tantang sang Buaya Learissa Kayeli. Pertempuran sengit pun tak terkendali. Ular besar menyerang terlebih dahulu. Dia membungkukkan badannya lalu menyerang Buaya Learissa Kayeli. Namun, Buaya Learissa Kayeli dengan lincah memundurkan badannya sehingga gigitan ular tidak mengenainya. Ketika ular dalam keadaan lengah, Buaya Learissa Kayeli menggigit badan si ular. Namun, si ular mampu melilit badan Buaya Learissa Kayeli hingga Buaya Learissa Kayeli akhirnya melepaskan gigitannya itu. Bau anyir darah menyeruak di tepi laut. Ketua buaya Pulau Seram dan temannya dengan cemas menyaksikan pertempuran itu. Mereka berharap Buaya Learissa Kayeli mampu mengalahkan ular besar sehingga mereka dapat kembali hidup dengan aman dan bahagia. Tak henti-hentinya mereka memanjatkan doa kepada Sang Kuasa agar selalu melindungi Buaya Learissa Kayeli dalam pertempuran itu. Tak terasa pertarungan antara Buaya Learissa Kayeli dan ular besar telah berlangsung selama tiga hari. Keduanya tampak lelah. Bekas gigitan di badan Buaya Learissa Kayeli dan ular besar tak terhitung lagi. Namun, mereka masing-masing tetap bertekad untuk memenangkan pertempuran itu. “Hai buaya, lebih baik kau menyerah dan pulang ke kampungmu! Saya akan mengampunimu dan membiarkanmu hidup,” teriak si ular besar berusaha mengintimidasi Buaya Learissa Kayeli. “Aku takkan pergi sebelum menyaksikan kematianmu! Dasar ular keras kepala!” jawab Buaya Learissa Kayeli. Walaupun dia merasa kelelahan dan keram pada perutnya, sang buaya tetap fokus pada tujuannya. Pada hari keempat, keduanya merasa sangat lelah. Pertarungan untuk sementara waktu dihentikan. Meskipun demikian, keduanya masih tetap dalam keadaan siaga. Ketika Buaya Learissa Kayeli sedang mengumpulkan tenaga, tiba-tiba ular menyerang. Namun, Buaya Learissa Kayeli mundur dan mengumpulkan semua kekuatan yang tersisa. Kemudian, dia mengangkat ekornya lalu memukul kepala ular dengan sekuat-kuatnya hingga seketika sang ular tak sadarkan diri. “Hai kalian berdua, inilah saatnya!” teriak Buaya Learissa Kayeli kepada ketua buaya Pulau Seram dan temannya yang menunggu di tepi pantai. “Baiklah! Menyingkirlah kau ke tepi pantai, biar kami yang menyelesaikannya!” jawab ketua buaya Pulau Seram. Seketika ketua buaya Pulau Seram dan temannya terjun ke dalam laut menuju tubuh si ular besar. Dengan sekuat tenaga mereka langsung mencabik-cabik tubuh si ular hingga tak berbentuk. Darah segar keluar dari tubuh ular besar hingga lautan pun seketika berubah menjadi merah. Melihat ular besar tak bernyawa lagi, ketua buaya Pulau Seram dan temannya langsung menuju ke pinggir pantai memeriksa keadaan Buaya Learissa Kayeli. Di pinggir pantai, sang buaya sedang merebahkan badannya. Sepertinya dia mengalami luka serius di tulang belakangnya. Ketua buaya Pulau Seram dan temannya langsung memapah Buaya Learissa Kayeli menuju tempat berkumpulnya para hewan untuk menyampaikan berita gembira. “Wahai Saudara-Saudaraku, hari ini kehidupan yang aman dan tenteram telah kembali lagi di negeri kita ini. Ular besar yang tinggi hati itu telah berhasil dikalahkan!” Dengan suara yang menggelegar, ketua buaya Pulau Seram mengumumkan kemenangan mereka. “Hore! Hidup Buaya Learissa Kayeli, hidup Buaya Learissa Kayeli, hidup Buaya Learissa Kayeli!” teriak seluruh hewan yang ada di tempat persembunyian. “Hari ini kita semua dapat keluar dari tempat persembunyian ini dan kembali bernapas lega tanpa adanya rasa khawatir. Semua kebahagiaan ini tidak mungkin kita rasakan tanpa adanya takdir dari Yang Mahakuasa yang telah mempertemukan kita dengan Buaya Learissa Kayeli,” jawab ketua buaya Pulau Seram. “Horeeee! Hidup Buaya Learissa Kayeli, hidup Buaya Learissa Kayeli, hidup Buaya Learissa Kayeli!” Ruang persembunyian kembali riuh dengan teriakan dari seluruh hewan yang mengelu-elukan keberhasilan Buaya Learissa Kayeli. Ketua buaya Pulau Seram kemudian mengajak semua hewan yang ada di dalam ruang persembunyian untuk keluar menuju pantai dan menikmati kebebasan yang selama ini mereka idam-idamkan Menyaksikan kebahagiaan yang dirasakan seluruh hewan di Pulau Seram, Buaya Learissa Kayeli seketika merasa kembali prima dan ingin segera kembali ke Desa Haruku. Sejak awal dia memang berencana untuk melahirkan anaknya di Desa haruku. “Wahai Saudaraku, nikmatilah kebahagiaan ini! Hiduplah dengan rukun dan damai. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melindungimu dan seluruh penghuni Pulau Seram,” bisik Buaya Learissa Kayeli kepada ketua buaya Pulau Seram. “Terima kasih yang terhingga kusampaikan kepadamu, wahai buaya yang baik hati. Tinggallah beberapa hari lagi di sini! Biar kami merawat tubuhmu dahulu, baru kemudian kau kembali ke Haruku,” pinta ketua buaya Pulau Seram. Namun, rasa sakit yang dideritanya membuat Buaya Learissa Kayeli lupa arah jalan menuju Desa Haruku. Dalam keadaan bingung, tiba-tiba ombak besar menghantamnya sehingga membuatnya terdampar di Desa Waii. Masyarakat yang melihat keberadaan buaya ramai-ramai mengepungnya dan berusaha membunuhnya. “Hai, lihat. Ada seekor buaya!” teriak salah seorang penduduk Desa Waii. “Mana? Wah, bentuk badannya aneh sekali. Jangan-jangan buaya itu akan membawa kesialan pada kampung kita. Ayo, kita bunuh saja!” teriak warga lainnya. “Tolong jangan bunuh saya! Saya tak bersalah apa-apa. Saya hanya tersesat dan ingin pulang ke kampung halaman saya di Haruku. Sekarang saya sedang mengandung dan akan melahirkan,” jawab Buaya Learissa Kayeli memohon belas kasihan masyarakat Desa Waii. “Jangan dengar kata-katanya! Ayo, kita bunuh! Hai buaya yang aneh perangainya, apa permintaan terakhirmu?” warga lainnya berteriak sambil mengangkat kayu. “Baiklah, jika itu keinginan kalian. Namun, janganlah kalian memukul tubuh saya. Tusuk saja pusarku ini dengan lidi. Jika anakku lahir, tolong biarkan dia hidup. Dia akan melanjutkan perjalananku kembali ke Desa Haruku,” kata Buaya Learissa Kayeli. Setelah mendengar permintaan terakhir Buaya Learissa Kayeli, masyarakat Desa Waii langsung mengambil lidi dan menusukkannya di pusar sang buaya. Setelah itu, Buaya Learissa Kayeli langsung melahirkan anaknya. Dengan napas terengah-engah karena kelelahan dan linangan air mata kebahagiaan, Buaya Learissa Kayeli sadar bahwa waktunya di dunia ini tak lama lagi. Lalu, dia berpesan kepada anaknya, “Wahai anakku sayang, berbahagialah dalam hidupmu. Jadilah orang yang berbudi baik dan menyayangi sesama. Carilah jalan pulang menuju Desa Haruku. Di sanalah tempat tinggal kita.” PELA ANTARA NEGERI LATUHALAT Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Bagaimana jika Jaka Linglung yang ada dalam kisah Aji Saka itu bukanlah ular biasa, melainkan ular purba jenis Titanoboa yang hidupnya 60-58 juta tahun lalu. Dengan berat kira-kira kg dan panjang berkisar antara 13 hingga 15 m, menjadikannya ular terbesar yang pernah ditemukan selama bagaimana kalau Dewata Cengkar itu bukanlah buaya putih, tapi Deinosuchus, atau buaya purba raksasa yang pernah hidup 80-73 juta tahun lalu. Untuk ukurannya para ahli mempercayai panjangnya dapat mencapai 12 meter dan beratnya 8 mereka punah? Dan apakah mereka bisa bertemu? Jika selisih rentang masa hidup ke dua jenis hewan ini sampai 20 juta tahun jaraknya. Yah akan ada banyak pendapat, mayoritas ahli mungkin beranggapan tidak mungkin. Tapi tidak ada salahnya apabila kita berasumsi kalau mereka tidak punah pada zaman awal dimulainya sejarah Jawa karena berbagai penyebab. Bisa pada saat pulau Jawa ini masih dihuni ras Melanesia yang konon pernah hidup di pulau itu, yang akhirnya sebagian terasimilasi dan sebagiannya lagi terdesak ke timur Nusantara. Atau hewan-hewan ini sempat hidup sampai nenek moyang orang Jawa, Deutro Melayu sudah mendiami tanah pada saat itu di utara pulau ini pernah ada cerita rakyat mengenai kemunculan ular besar yang ternyata jenisnya adalah Titanoboa, dan hampir dalam waktu bersamaan di selatan Jawa, ada juga kisah rakyat kehadiran buaya raksasa jenis Deinosuchus. Yang akhirnya dalam suatu kesempatan kedua momen penampakan hewan kolosal itu digabungkan dalam cerita perjalanan seorang tokoh bernama Aji tidak menutup kemungkinan, nongolnya ular dan buaya berukuran massif ini memang benar-benar bertemu dan bertarung, entah siapa yang menang, tapi lokasinya pertarungannya bisa jadi ada di sekitar pantai selatan. Dan momen ini kemudian dimasukkan dalam kisahnya Aji Saka, supaya lebih dan buaya yang bergelut sebenarnya pemandangan biasa yang ditemui para petani dan pemburu zaman dahulu, ada yang besar hewan-hewannya atau ada yang biasa saja ukurannya. Nah, ada juga kisah setelah berhasil mengalahkan buaya ini, lalu sang ular itu sempat disuruh bertapa, namun justru berakhir tragis karena kedapatan memangsa beberapa anak kecil. Mungkin saja kisah ini juga pernah terjadi, kejadian beberapa anak kecil pada masa itu yang dimangsa ular besar, hingga setelah beberapa ratus tahun berselang, cerita itu lalu banyak dibumbui hal-hal penulis berpendapat seperti itu, yang pertama, Jawa ribuan tahun lalu itu sangat berbeda dengan zaman sekarang. Bahkan pada zaman Belanda sudah datang saja, sebagian tanah Jawa masih berselimut hutan rimba yang lebat, sehingga menimbulkan banyak mitos menyeramkan akan mahluk-mahluk supranatural. Apalagi zaman awal peradaban Jawa masih baru dimulai, di saat kerajaan-kerajaan baru saja berdiri. Tentunya fauna yang pernah hidup di tanah Jawa akan jauh lebih beraneka ragam, yang memungkinkannya hidup megafauna semacam Titanoboa dan itu sudah jadi kebiasaan manusia di mana pun mereka berasal untuk menuliskan sejarahnya, terutama yang diabadikan lewat lisan setelah ratusan atau bahkan ribuan tahun lamanya, para penerusnya akan menambahkan banyak bumbu-bumbu tambahan sehingga membuatnya tidak jelas mana cerita yang sebenarnya dengan mana yang hanya rekaan imajiner terciptalah banyak mitos atau cerita rakyat yang bisa jadi dahulunya benar-benar pernah terjadi, seperti kisah pertarungan Jaka Linglung melawan Dewata saja aslinya ada orang yang bernama Jaka Linglung dan Dewata Cengkar, mereka manusia biasa seperti kita yang tidak dapat berubah wujudnya menjadi hewan buas atau raksasa. Yang kemudian nama-nama mereka dihubungkan dengan kejadian yang pernah terjadi sebelumnya atau sesudahnya mengenai perkelahian dua hewan yang mirip Titanoboa atau Jaka Linglung atau Dewata Cengkar ini hanyalah sekedar manifestasi dari suatu persaingan antara dua kekuatan besar yang pernah beradu pada zaman itu, yang kemudian juga diwujudkan ke dalam pertarungan dua hewan kolosal ular melawan buaya. 1 2 Lihat Humaniora Selengkapnya Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Pada zaman dahulu kala, hiduplah seekor ular lembu jahat di sungai cisanggarung. Seekor ular bertanduk dengan badan seperti lembu atau lebih mirip dengan lembu tanpa kaki. Ular itu akan memakan siapa saja yang berada di buaya-buaya yang hidup di sungai cisanggarung pun takut kepadanya, karena sang raja buaya dan keturunannya sudah dibunuhnya. Dialah raja sungai yang paling ditakuti hewan-hewan sungai dan manusia di sekitar bantaran sungai. Suatu hari dia mencoba memangsa seorang kakek tua yang sedang memandikan sapinya di sungai cisanggarung. Dari bawah permukaan air sungai, ia berenang mendekati kakek tua itu. Saat mulut sang ular menganga dengan taring yang siap mencabik , seekor buaya putih menggigit ekornya. " Ah...." sang ular menjerit kesakitan " Jangan ganggu kakek itu ". kata sang buaya putih " Hei, kau berani sekali menggigit ekorku. Siapa kau ? ". " Aku buaya putih, anak dari raja buaya sungai cisanggarung yang telah kau bunuh ". " Tidak mungkin, aku sudah membunuh betina dan semua keturunannya bahkan aku pun sudah memakan telur-telur calon anaknya ". Sang ular tak percaya dengan pengakuan buaya putih " Aku berhasil di sembunyikan ibuku ke daratan dan kakek itulah yang telah merawatku sejak kecil ". " Baiklah, hari ini akan aku bunuh juga dirimu ". sang ular mengancam Kemudian sang buaya putih bertarung dengan sang ular lembu. Pertarungan yang sengit, buaya putih mewarisi kesaktian dari ayahnya dulu. [caption id="attachment_103057" align="alignleft" width="380" caption="google image"][/caption] Akhirnya sang buaya putih berhasil mengalahkan sang ular lembu. Namun dia tidak membunuh sang ular lembu. Dia membiarkan sang ular hidup dengan syarat dia tidak mengganggu manusia yang berada di sungai. Dia belajar dari sang kakek yang merawatnya. Meskipun sang kakek dikucilkan manusia lain karena penyakitnya, namun sang kakek tak pernah membenci manusia-manusia itu. Sang kakek tidak menyadari bahwa buaya putih yang dipeliharanya telah menyelamatkannya dari serangan sang ular lembu. " Kek....terimakasih telah merawatku ". Ucap sang buaya dengan ekornya mengusap-usap betis kakek tua " Kaukah itu putih ? .Jawab sang kakek " Iya.....ijinkan aku kembali ke sungai cisanggarung ". " Baiklah...kembalilah, kakek hanya meminta kamu untuk melindungi orang-orang yang berada di sungai ini ". " Iya kek aku janji ". Kali ini moncongnya yang menciumi betis sang kakek Sang buaya putih pun pergi meninggalkan kakek tua. Dia akan setia terhadap janjinya untuk melindungi manusia-manusia yang berada di sungai cisanggarung baik untuk mandi, mencuci baju atau mencuci hewan ternak. Penulis Andee An The Lumutz No 146 Sumber cerita ini berasal dari mitos yang sering saya dengar tentang keberadaan seekor ular lembu di dasar sungai cisanggarung. Ular lembu yang sering memakan korban setiap tahunnya. Karena memang hampir selalu ada orang yang mati dan hilang jasadnya di sungai yang membelah propinsi jawa barat dan jawa tengah. Sedangkan keberadaan buaya putih diparcaya oleh warga kampung di tempat saya sebagai pelindung. Untuk membaca dongeng yang lain dan lebih keren silahkan kunjungi blog dongeng anak nusantara Sekali lagi maaf saya terlambat ...............kehkehkehkehkeh Lihat Puisi Selengkapnya Prasad Panchakshari/Unsplash Contoh spesies ular tidak berbisa di sekitar kita. - Tidak semua spesies ular yang ada di dunia berbisa, sudahkah kamu tahu fakta ini? Dilansir dari diperkirakan sekitar 85% dari seluruh spesies ular di dunia justru tidak beracun dan berbisa. Sedangkan sisanya adalah ular berbisa, yang dapat menghasilkan dan menyuntikkan racun kepada mangsanya. Sebagian besar ular adalah karnivora, memangsa hewan lain untuk kebutuhan makannya. Nah, racun atau bisa ini digunakan untuk melumpuhkan makanannya, sekaligus sebagai bentuk perlindungan diri. Menurut penelitian para ilmuwan, ular beracun cenderung memiliki pupil hitam vertikal, kepala segitiga, dan dua lubang dekat moncongnya. Kali ini, kita tidak akan membahas tentang bisa ular, melainkan mencari tahu ular yang tidak berbisa. 1. Ular Gopher Ular gopher Pituophis catenifer, sering disebut juga ular pinus atau ular banteng. Ular pinus biasanya tersebar di Amerika Utara, dan tinggal di hutan, gurun, padang rumput, ladang pertanian, dan tebing berbatu. Ciri fisiknya yaitu memiliki panjang tubuh sekitar 1,2 sampai 2 meter, kulitnya berwarna kuning kecokelatan, abu-abu, atau cokelat gelap dengan bercak-bercak hitam. Baca Juga 6 Fakta Unik Ular Derik, Punya Racun Mematikan serta Habitat yang Beragam Artikel ini merupakan bagian dari Parapuan Parapuan adalah ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya. PROMOTED CONTENT Video Pilihan

cerita ular dan buaya